Terlaris

Brand

Kembali Kepada Allah Azza wa Jalla

Kembali Kepada Allah Azza wa Jalla

Menurut pandangan aqidah, musibah dan bencana dapat memiliki dua makna. Pertama, musibah dan bencana sebagai ujian atas keimanan orang yang taat. Kedua, musibah dan bencana sebagai pelajaran dan peringatan kaum yang sudah melenceng jauh dari ketentuan Allah swt agar sadar kembali dan menjadi pembelajaran bagi generasi berikutnya.

 

Bisa jadi musibah dan bencana merupakan ujian bagi orang yang beriman untuk mengukur kadar keimanan kepada Allah swt. Mengidentifikasi musibah dan bencana tersebut termasuk ujian atau peringatan cukup dengan mengamati peri kehidupan orang yang ditimpakan musibah tersebut. Apabila orang yang ditimpa musibah itu merupakan orang yang taat beribadah kepada Allah swt, mengerjakan perintah-perintah-Nya dan berusaha keras menjauhi perkara yang dilarang-Nya maka itulah ujian keimanan.

 

“Katakanlah (hai Muhammad), “Siapakah yang dapat melindungi kalian dari (takdir) Allah jika Ia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu. Dan orang-orang munafik itu tidak memeroleh bagi mereka pelindung dan penolong, kecuali Allah.” (Al-Ahzab: 17).

 

Sehingga musibah yang dimaksudkan adalah untuk mengokohkan kekuatan iman kita kepada Allah swt dan melipatgandakan keyakinan kita akan kebesaran kekuasaan Allah Azza wa Jalla yang tak terkira. Musibah yang menimpa kita tersebut sekaligus mengingatkan agar kita senantiasa menyadari betapa lemah dan tidak berdayanya manusia di hadapan Allah swt.

 

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’ngun” mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157).

 

Jadi sudah sewajarnya sebagai makhluk yang dhaif, kita bersikap sabar dan tawakal terhadap apapun bentuk musibah yang Allah swt berikan pada kita. Bisa jadi itu merupakan salah satu treatment yang Allah swt sengaja berikan pada kita untuk menguji keimanan kita, bila kita mampu melewatinya dengan baik maka kita akan semakin dicintai Allah swt, bila belum mampu kita akan terus diuji dengan musibah atau cobaan yang level-nya sama.

 

Memberikan Peringatan

 

Musibah yang menimpa seseorang atau suatu kaum dapat berarti sebuah peringatan karena kelalaian mereka yang telah jauh menyimpang dari peraturan Allah swt. Jika yang haram sudah dihalalkan, maksiat disebarluaskan dan yang halal malah banyak ditinggalkan, maka adzab Allah swt tinggal menunggu waktu.

 

Sudah cukup bukti dalam ayat-ayat Al Quran yang menyebutkan nasib kaum-kaum pembangkang terhadap aturan Allah swt. Sebut saja kaum Nabi Nuh as yang ditimpakan banjir hingga merendam gunung, karena perbuatan mereka yang mengingkari Allah swt dan memusuhi Nabi Nuh as serta orang-orang beriman.

 

Begitu pula dengan kaum Nabi Luth as yang ditimpa adzab berupa gempa bumi hingga terbaliknya permukaan tanah disertai hujan batu. Semua itu merupakan buah keingkaran mereka terhadap seruan Allah swt yang disampaikan melalui Nabi Luth as.

 

Kita juga diingatkan Allah swt melalui kisah Firaun yang ditenggelamkan bersama tentaranya di Laut Merah. Firaun merupakan figur manusia yang sangat takabur hingga mengaku sebagai Tuhan dan silau dengan kekuasaan.

 

“….Dan apabila Allah telah menghendaki keburukan suatu kaum, maka tidak ada seorangpun yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Ra’d: 11)

 

 

Hendaknya setiap musibah yang menimpa kita harus dapat menjadi tadzkirah (pengingat) bagi kita untuk muhasabah (evaluasi) dan kontemplasi diri. Apabila banyak masyarakat yang melanggar batasan Islam, banyak pemimpin yang lalai dengan amanahnya, orang-orang berkelimpahan harta hanya sibuk menghamburkannya tanpa ingat kewajiban zakat, orang-orang bangga berbuat dosa dan merasa hebat dengan maksiat, maka musibah tersebut merupakan pengajaran dan peringatan Allah swt bagi kita untuk bertaubat dan kembali taat pada-Nya.

 

Bergembiralah Orang yang Sabar

 

Rasulullah saw bersabda,”Bersabar adalah cahaya yang gilang gemilang.” (HR Muslim).

 

Seorang bijak berkata,”Hendaklah engkau bersyukur atas segala nikmat yang datang dan bersabarlah atas segala musibah yang menimpa.”

 

Sebagai hamba Allah, maka musibah akan senantiasa datang menghampiri kita. Ini bukti cinta Allah pada kita untuk menguji keimanan kita untuk semakin dicintai oleh-Nya. Musibah tersebut bisa menimpa siapa saja, mungkin diri kita, saudara, keluarga, tetangga, masyarakat, maupun bangsa kita. Mengadapai cobaan yang bertubi-tubi, sambung-menyambung, dan silih berganti, maka hanya dengan sikap sabarlah kita harus menghadapinya. Karena kadar kesabaran inilah yang menunjukkan kualitas keimanan kita. Dalam hadits di atas Rasulullah saw menyebutkan bahwa kesabaran ibarat cahaya, dengan cahaya kesabaran tersebut itulah yang menghindarkan diri kita dari berburuk sangka pada Allah swt. Melalui cahaya kesabaran itu juga kita dituntun agar tidak mudah menyerah pada rahmat Allah swt.

 

Diriwayatkan dari Abu Musa, Rasulullah saw mengatakan bahwa Allah telah berfirman, “Wahai malakul maut engkau telah mencabut ruh putra dari hamba-Ku! Engkau telah mengambil buah hatinya dan kesayangan pandanganya. Jawabnya, “Ya!” “Lalu ia berkata apa?” Jawabnya,”Ia membaca Alhamdulillah, Innalillahi wa inna ilaihi roji’ngun.” Maka Allah berfirman,”Bangunkan untuk hambaku itu rumah di surge, dan beri nama Baitulhamdi.” (HR. Ahmad).

 

Pada hadist lain Rasulullah saw kembali menegaskan esensi kesabaran. Husain bin Ali ra mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah, kemudian setelah lama teringat kembali, meskipun sangat lama masanya, kemudian ia membaca kembali,”Innalillahi wa inna ilaihi roji’ngun.” Melainkan Allah akan memperbarui keadaan itu lalu diberinya pahala seperti pada waktu menderita pertama kalinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah).

 

Maka marilah kita memberikan penilaian yang baik pada setiap musibah yang menghampiri kita, agar memberikan penyadaran bagi kita dan mengkohkan keimanan kita kepada Allah swt. Hanya pada Allah sajalah kita bermohon perlindungan dan pertolongan.

 

Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim bahwa Ali bin Abi Thalib ra bercerita “Tatkala Rasulullah saw wafat dan berkumpul dan berkumpul orang-orang yang berta’ziyah datanglah pendatang yang terdengar suara geraknya namun tidak dapat dilihat sosok tubuhnya, ia berkata seakan-akan berpidato, “Assalamualaikum ahlal baiti warahmatullahi wabarakatuh. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Sesungguhnya Allahlah tempat orang berhibur dari musibah, mencari ganti dari yang binasa, dan mengejar apa yang hilang. Maka kepada Allah-lah hendaknya kamu meletakkan kepercayaanmu dan kepada-Nya lah hendaknya kamu tuangkan harapanmu. Dan sesungguhnya orang kehilangan pahalalah yang terkena musibah. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Berkata Ali bin Abi Thalib ra menurut riwayat Ja’far bin Muhammad bahwa si pendatang itu adalah Nabi Khidir as.

 

“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya, sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (Al-Qasas: 60).

 

Tetap bersyukur dan bersabar merupakan kunci menghadapi suatu musibah atau cobaan, karena itu merupakan salah satu bentuk bukti kecintaan Allah swt pada hamba-Nya.

 

Wallahu a’alam bis shawab.

 

Leave a Reply

* Name:
* E-mail: (Not Published)
   Website: (Site url withhttp://)
* Comment:
Type Code