Terlaris

Brand

Islam, Barat, dan Cara Kita Memandang Fashion

Islam, Barat, dan Cara Kita Memandang Fashion



Sekarang, cara pandang dangkal sudah menjangkiti kita semua. Bahkan, pada mereka yang juga sok sering mengaku mempertahankan budaya lokal sendiri
Oleh: Aditya Abdurrahman

PUTU Setia, seorang redaktur senior di Majalah TEMPO. Dalam tulisan  berjudul, “Kolom Cari Angin: Miss World” (Edisi 01 September 2013) ia seolah menyindir Menteri Agama Suryadharma Ali, Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta mayoritas umat Islam yang paling getol menolak acara Miss World di Bali.

    “Pak Menteri Agama, saya dan mungkin seluruh pendeta di kalangan Hindu sejatinya tak ada urusan dengan perhelatan Miss World itu. Jangankan ikut jadi panitia, diundang pun ogah. Betapapun cantiknya wanita-wanita yang datang dari penjuru dunia, pasti tetap lebih cantik jika cucu saya didandani. Itu urusan duniawi, bukan urusan agama. Kalau kita menekuni spiritual dan setiap hari bergelut dengan ayat-ayat suci, rasanya aneh jika masih mengurusi atau tergiur atau tergoda oleh kecantikan visual. Ini ranah budaya.
    Jika urusan budaya, kenapa agama dibawa-bawa? Miss World digelar di Bali, yang konon penduduknya mayoritas Hindu. Lha, kenapa fatwa MUI harus diperhatikan? Mestinya fatwa Parisada Hindu Dharma Indonesia–dan pasti mustahil ada fatwa seperti itu untuk acara budaya yang tidak melanggar agama. Kalau saran Pak Menteri kebablasan, nanti setiap acara apa pun di Bali–termasuk main layang-layang atau pesta ogoh-ogoh–jangan-jangan disuruh memperhatikan fatwa MUI.

    Budaya itu beragam di Nusantara ini, dan NKRI dengan empat pilarnya–kayak menceramahi murid SD–menjamin keberagaman itu. Miss World dipadukan dengan budaya Bali, pembukaannya dengan tari kecak yang pemainnya bertelanjang dada–padahal peserta Miss World akan pakai kebaya. Mereka mengunjungi obyek wisata dengan pakaian adat Bali, karena ada obyek yang sekaligus menyatu dengan tempat suci. Apakah budaya lokal ini bertentangan dengan budaya nasional? Atau, budaya nasional harus menutup seluruh tubuh seperti budaya di Timur Tengah? Lalu, apakah budaya harus diseragamkan?,” demikian tulisnya.

Saya agak kurang mengerti, apa benar masyarakat Hindu Bali sepikiran dengan si Putu, bahwa ajang pamer-pameran tubuh ini adalah budaya lokal mereka?

Jangan-jangan ketika suatu hari nanti di Bali menjadi tempat ajang (maaf) sebuah kontes pemilihan vagina terindah, “The Most Beautiful Miss V Contest”, sebagaimana pernah diselenggarakan oleh sebuah klub di Portland, Oregon tahun 2011,  si Putu juga mengklaim sebagai budaya lokal lagi, sebagaimana dia menulis di TEMPO.

Estetika dan cara pandang Barat

Kebudayaan Barat masuk melalui seluruh aspek kehidupan manusia diseluruh dunia. Hal-hal yang berkembang di Barat, saat ini, menjadi panutan bagi seluruh umat manusia diseluruh dunia. Menurut pakar sosiologi Islam, Ibnu Khaldun , hal ini merupakan suatu keniscayaan di mana peradaban yang sedang menang, jaya, dan maju, akan selalu menjadi panutan bagi peradaban-peradaban lain yang kalah. Dalam arti lain, peradaban yang saat ini kalah, sedang berada dibawah, atau mengalami stagnasi bahkan kemunduran, pasti menjadi pihak yang mengekor kepada peradaban yang saat ini sedang jaya: peradaban Barat.

Salah satu yang mengalami perubahan adalah dalam aspek fashion. Cara berpakaian Barat yang saat ini ada, dianggap oleh Barat sendiri sebagai bentuk ‘perkembangan’. Gaya berdandan dan berpakaian yang mengikuti era modernisme dan postmodernisme secara cepat menyebar keseluruh penjuru dunia dengan image yang ‘cool’ dan ‘up to date’.

Umat Islam termasuk yang menjadi sasaran sekaligus di sisi lain sebagai penikmat fashion Barat. Mayoritas umat Islam yang tinggal di negara-negara Islam bukan hanya sudah lupa dengan kewajiban-kewajiban dalam menutup aurat sehingga kaidah-kaidah berpakaiannya jauh dari kaidah-kaidah berpakaian ala Islam, tapi lebih parah lagi, mereka menganggap fashion yang terbaik adalah apa yang sedang trend di Barat. Tingkat ketergantungan umat Islam melihat dunia fashion Barat sangat tinggi, hingga busana-busana Muslim dan Muslimah yang seharusnya lebih mengedepankan nilai-nilai syariat harus mengalami ‘akulturasi’ dengan gaya-gaya desain Barat.

Ketika berbicara tentang dunia fashion di Barat, maka pembahasannya akan masuk dalam ranah seni dan desain. Kehadirannya di Barat sangat terkait dengan berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat (konsumen) seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, seni, lingkungan sekitar, dan berbagai faktor lainnya. Sebagaimana yang pernah dikatakan Gini Stephen Frings, seorang ahli fashion Barat:

“Because fashion reflects the way the consumer thinks and lives, it is influenced by the same social, economic, technological, and other enviromental forces, that influence all other aspects of people lives. Executives on all level of fashion industry must be aware of these environmental conditions if they are to make informed decision about styling and merchandising.”(Stephen F, Gini, “Fashion From Concept to Consumer“)

Tidak jauh berbeda dengan pendapat Umberto Eco (1976) yang mengatakan bahwa fashion merupakan alat semiotika, yang didalamnya penuh dengan makna-makna. Seperti mesin yang dapat mengkomunikasikan pesan dari sang pemakai kepada orang lain yang melihat. Lalu apa yang hendak dikomunikasikan? Tentu tidak lepas dari identitas dari pemakainya.

Entah dari sudut pandang kelas sosial, ekonomi, budaya, bahkan tingkat pendidikannya.

Namun ketika fashion berada dalam ranah seni dan desain ala Barat, maka pembahasan fashion di Barat akan menggunakan paradigma Barat dalam melihat apa itu seni dan desain. Tentu hal ini menuntut pandangan tentang bagaimana Barat mendefinisikan estetika dan etika didalam seni dan desain fashion itu sendiri.

Ada dua hal yang harus dimengerti tentang seni menurut Barat, yaitu tentang pemahaman mereka terhadap kedudukan estetika dan etika. Kedua aspek inilah yang nantinya akan memberikan pembeda paling kontras antara desain/seni fashion di Barat dengan fashion Islam.

Istilah estetik biasanya dikaitkan dengan arti ‘citarasa yang baik’, ‘keindahan’ dan ‘artistik’. Estetika merupakan kajian yang menjadikan estetik sebagai objeknya. Dalam tradisi intelektual, biasanya estetika dipahami sebagai satu dari banyak cabang ilmu filsafat yang membahas tentang seni dan objek lainnya yang memiliki nilai estetik (baca: keindahan).

Di Barat, seni merupakan bagian dari kebudayaan modern yang mengedepankan rasionalisme dan materialisme.Kebudayaan yang demikian itu berusaha membuang aspek spiritualitas dan religiositas sejauh-jauhnya.

Artinya, tidak ada batasan apapun, termasuk agama, yang mereka gunakan dalam mengembangkan karya-karya seni dan desain di Barat.

Keindahan di Barat, seperti dalam tradisi modern, berakar pada realisme dan naturalisme. Hal ini yang menjadi alasan mengapa di Barat, fashion-fashion yang dianggap modern adalah yang mampu memberikan kesan natural dan apa adanya. Bahkan jika diterjemahkan dalam cara pandang mereka terhadap keindahan, maka bentuk tubuh manusia dianggap sebagai estetika seni tersediri, sehingga tidak menjadi masalah di Barat ketika tubuh telanjang dipamerkan di catwalk-catwalk pentas desain fashion.

Dimensi Ruhiyah

Sementara dalam Islam, jika cara pandang umat Islam terhadap fashion sudah tidak lagi menggunakan cara pandang Islam, maka aktifitas berpakaian bukan lagi bernilai ibadah sebagaimana Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan kita untuk menutup aurat, berpakaian rapi, bersih dan suci.

Jika kita melihat fashion tidak pada aspek ruhiyah-nya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam ajaran-ajaran Islam, maka sudah pasti kita akan melihat fashion hanya dari dimensi fisiknya saja. Sebagaimana Barat ‘mengajarkan’ fashion sebagai trend dan gaya, kita akan melulu memperhatikan cara berpakaian dari dimensi-dimensi yang materialistis alias duniawi. Motif berpakaian kita hanya sampai pada tataran agar kita dianggap memiliki kelas sosial tertentu, status cantik atau ganteng, berpendidikan atau tidak, norak atau tidak, dan lain sebagainya.

Tidak salah jika seseorang berpakaian dengan maksud ingin terlihat cantik. Tapi jika tujuan itu mengalahkan aturan-aturan tata berpakaian yang disyariatkan olh agama yang masing-masing kita bawah (baik Islam atau budaya lokal yang sering dibanggaan sebagaian orang) maka sesungguhnya cara berpikir Barat-lah yang kita pakai di mana estetika itu dilihat dari dimensi fisiknya. Bukan dimensi ruhiyahnya.

Sekarang, cara pandang dangkal ini sudah menjangkiti kita semua. Bahkan, pada mereka yang juga sok sering mengaku mempertahankan budaya lokal sendiri.

Bagi umat Islam sendiri, cara pandang sangat penting artinya. Yang mana yang kita pakai akan mempengaruhi bagaimana hasil yang akan kita terima di akhirat nanti.

Nah, sekarang, saatnya memilih, cara pandang Barat atau cara pandang kita sendiri? Silakan dipilih. Semua ada ditangan kita masing-masing. Wallahu a’lam.*

Penulis adalah seorang pengajar di Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya dan salah satu anggota MIUMI Jatim

Leave a Reply

* Name:
* E-mail: (Not Published)
   Website: (Site url withhttp://)
* Comment:
Type Code