Terlaris

Brand

Kisah Nyata: Siapa yang Bertanggung Jawab?

 

Kisah Nyata: Siapa yang Bertanggung Jawab?

– Kring…kring…kring..

 

Ibunya menghubunginya di kantor sesaat sebelum Zhuhur.

 

“Ahmad, kami kehilangan adikmu. Baru saja Ibu ingin membangunkannya, tetapi dia tidak ada di kamar-nya. Cepatlah kemari!”

 

 

Ahmad pergi ke rumah bapaknya. Tidak biasanya adik perempuannya pergi dari rumah tanpa memberi tahu siapapun. Ahmad tinggal di rumah sendiri bersama isteri dan anak-anaknya. Meskipun demikian dia mengenal betul adik perempuannya.

 

Ahmad merenung, “Saya telah berkali-kali menyarankan kepada bapak agar menikahkannya, karena dia sudah besar. Tetapi bapak selalu menolak. Saya berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak diingankan padanya.”

 

Ahmadpun tiba di rumah bapaknya. Mereka menggeledah setiap tempat dan setiap sudut rumah, tetapi tidak juga menemukannya. Ahmad memutuskan untuk masuk ke kamar adik perempuannya, mungkin dia bisa menemukan sesuatu di sana. Kamar adiknya bersih dan tertata rapi. Ahmad menengok ke sana ke mari. Di atas meja, Ahmad melihat amlop pos yang tertutup. Ahmad memeriksanya, dan ternyata isinya adalah benda keras. Ahmad membukanya: sebuah kaset. Ahmad menyimpannya di saku dan berniat akan mengorek isinya setelah melapor terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang.

 

Ashar telah tiba, tetapi belum ada kabar tentang adiknya, padahal Ahmad telah melapor ke pihak berwenang sebelum Zhuhur. Ahmad memutuskan mendengar kaset. Ia memanggil ayah dan ibunya supaya ikut mendengarkan kaset tersebut. Ahmad lantas memasukkannya ke tape recorder. Dia sangat khawatir, jangan-jangan isi kaset itu adalah sesuatu yang buruk baginya dan bagi keluarganya, lebih-lebih kedua orang tuanya akan ikut serta menyimak isinya. Tetapi dia juga sangat ingin mengetahui apa yang terjadi, atau setidaknya memperoleh sedikit informasi tentang keberadaan adiknya saat ini.

 

Kaset ini harus didengarkan, karena mungkin ia bisa memberi petunjuk! Ahmad membaca sampul kaset. “Lagu-lagu cinta. Lagu-lagu penyanyi ternama Saad Mas’ud.” Apakah kaset ini hanya berisi lagu-lagu saja? Mengapa adikku meletakkannya di atas mejanya di dalam amplop pos? Semoga hasilnya tidak mengecewakannya. Ahmad menekan tombol ‘On’. Maka melesatlah suara penyanyi meliuk-liuk disertai alunan musik yang menderum,

 

 

…kamu, sementara gelas di tanganku

 

Untuk siapa dirimu di hari esok

 

Maka dia terpancing karena ucapanku

 

Kemarahannya, dengan meronta-ronta

 

Dan dia memalingkan wajahnya

 

Dan mengatakan diriku adalah orang hina

 

Dia berdusta dalam merinduku

 

Dia berkhianat dalam…

 

Suara penyanyi itu terputus, lalu terdengar suara tangan yang menekan tombol tape recorder. Hening sejenak. Tiba-tiba terdengar suara yang pelan, sangat pelan, tidak begitu jelas. Ahmad memaksimalkan volume tape, suata itu terdengar agak jelas dari sebelumnya. Itu suara adiknya.

 

“Ayah…Ayah…Akhirnya aku memutuskan…aku memutuskan….dan memilih keputusan sulit untuk pergi dari rumah. Terus terang, Ayah dan Ibu tidak pernah melalaikan diriku dalam urusan makan, minum dan pakaian. Bahkan sebaliknya kalian berdua menyediakannya untukku secara melimpah…Akan tetapi aku berharao agar engkau, wahai Ayah, mengingat begitu pula engkau wahai Ibu. Berapa pun lamanya aku tinggal di rumah ini, tetap akan datang suatu hari di mana aku harus keluar dari rumah.”

 

Diam…Hening untuk beberapa lama. Tidak ada suara yang keluar dari tape itu. Ahmad merasa heran, kenapa diam? Apakah itu semua yang ingin dikatakan oleh adiknya? Ataukah masih ada sesuatu yang tersisa di kaset tersebut? Dari yang diucapkan adiknya menunjukkan bahwa dia pergi dari rumah atas dasar keinginannya, ya keinginan dia. Akan tetapi, ke mana? Masalahnya masih saja samar. Suara penyanyi kembali mengalun. Maka terpaksa Ahmad mengecilkan volumenya.

 

“…Dia berkata, cinta itu abadi

 

Saya berkata, tidak ada yang abadi

 

Apakah kamu masih mencintaiku apabila

 

Ketenaran dan kemasyhiranku lenyap

 

Lalu dengan cepat dia menjawab

 

Kamu, bukan ketenaranmu tujuanku

 

Aku berkata, apakah…

 

Suara penyanyi terputus untuk kedua kalinya dengan tekanan kedua kalinya di tape recorder. Ahmad memandang wajah ibu dan bapaknya. Suara dari tape itu terdengar kembali. “Ayah, aku telah lama menunggumu meninggalkan pendapatmu meminta maskawin pernikahanku yang begitu mahal. Aku telah lama menunggumu menyetujui salah seorang pemuda yang ingin menikahiku. Tapi engkau menolak menikahkanku. Aku menunggu sampai aku bosan menunggu dan keputusasaan menghinggapiku… Maka aku mengambil keputusan, walaupun itu berbahaya. Tetapi lebih baik daripada menjadi perawan tua. Maafkan aku. Aku betul-betul terpaksa… terpaksa melakukannya.”

 

Suaranya melemah diiringi tangisan. Dia diam untuk melanjutnya ucapannya. Pada saat itu ibu menarik baju suaminya, Abu Ahmad. Dia berkata dengan tangisan yang memilukan, “Engkaulah penyebabnya. Engkau selalu menolak untuk menikahkannya. Apa yang engkau harapkan darinya? Saya sudah katakan kepadamu, nikahkan dia… nikahkan dia!”

 

Suaminya terdiam. Pandangannya tertunduk ke bawah. Kata-katanya adalah tamparan keras yang menyadarkannya. Terpaksa Ahmad mematikan tape recorder, dia memegang tangan ibunya dan berkata,

 

“Ibu, aku mohon… bukan saatnya untuk saling menyalahkan. Kita dengarkan kembali kasetnya agar kita di mana dia sekatang? Ke mana dia pergi?”

 

Ibunya terdiam. Ahmad menghidupkan kembali tape. Terdengar suara adiknya, “Ayah, Ibu…jangan mencemaskan diriku. Saya telah mengenal seorang pemuda. Dia mencintaiku dan aku pun mencintainya. Aku mengenalnya melalui telepon. Setiap malam dia berbicara denganku lewat telepon setelah kalian berdua tidur. Dia berjanji kami akan menikah dalam waktu dekat ini dan tinggal di sebuah apartemen. Aku mempercayainya, dia pemuda yang baik. Aku tidak memintanya melamarku karena aku mengetahui Ayah pasti menolaknya. Ibuku, sebentar lagi aku akan merasakan kehidupan berumah tangga yang telah lama aku impikan. Seandainya Ibu berada di sampingku untuk memberi restu untukku dan kekasihku suami masa depan (Abid). Setelah kami melaksanakan pesta pernikahan kecil-kecilan begitulah yang kami sepakati aku akan berusaha menghubungi kalian agar kalian tidak mencemaskanku. Ibu… Ayah…. Selamat tinggal dalam waktu dekat…”

 

Suara penyanyi kembali mengalun bersama alunan musik

 

“…saya berkata, dan keraguan datang

 

Dan pergi silih berganti di dalam hatiku

 

Dan apabila kematian mendatangiku

 

Dan pada hari esok akan menjadi

 

Mayat yang ditimbun tanah

 

Di dalam kegelapan untuk selama-lamanya

 

Cacing datang mengerubuti di sekelilingnya

 

Memakan dan menyerang …”

 

Ahmad mematikan tape setelah melihat ayahnya terpaku sambil mengusap air yang menggenangi pelupuk matanya.

 

Ayah berlalu. Diam seribu bahasa. Bibirnya tidak bergerak sedikit pun. Lalu ia masuk kamar dan menutup pintu. Ahmad memandang ibunya. Air mata telah membasahi pipinya. Dia menangis tersedu dengan suara terisak-isak, pelan tapi terdengar. Penampilan Ibu mengundang iba dan belas kasihan. Ahmad mengumpulkan tenaganya lalu berdiri dan berkata kepada ibu, “Hendaknya apa yang kita dengar dari kaset tetap menjadi rahasia. Kita berikan kesempatan kepada kepolisian untuk mencarinya kita hanya bisa menunggu.”

 

Empat hari kemudian polisi menghubungi Ahmad di rumahnya. Adik perempuannya telah ditemukan. Ahmad langsung bergegas ke kantor polisi. Di sana dia diterima oleh Komandan yang menenangkannya dengan ucapan, “Adikmu baik-baik saja. Alhamdulillah…Tetapi..”

 

“Tetapi apa?” Ahmad menyela tidak sabar.

 

“Adikmu sekarang berada di rumah sakit. Tenang saja, kondisinya tidak mengkhawatirkan. Dia hanya mengalami beberapa tekanan kecil..

 

Ahmad terhenyak. Rumah sakit? Mengapa? Bukankah dia telah mengatakan agar kami tidak mencemaskannya? Apa yang terjadi? Bukankah dia mengatakan akan menikah? Ahmad tidak mampu melontarkan pertanyaan yang bertubi-tubi ini kepada Pak Komandan. Dia berusaha menutupi kegelisahannya agar tidak membongkar masalah adik perempuannya.

 

Akan tetapi dia tetap saja bertanya, “Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana Bapak menemukannya?”

 

“Sepertinya salah seorang yang hina lagi rendah berhasil menculiknya, lalu dia menyekapnya di apartemen tersendiri. Sangat disesalkan dia lalu memanggil teman-temannya untuk menodainya dengan imbalan materi dari mereka. Hal itu berlangsung selama empat hari sampai akhirnya Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar berhasil memata-matai dan membongkar kejahatan mereka.”

 

Keterangan Pak Komandan ini laksana pedang tajam lagi panas yang dibenamkan di dada Ahmad. Tidak tahu bagaimana menerima berita seperti ini, namun secara spontan mulutnya bertanya, “Siapakah orang yang hina lagi rendah itu?”

 

Sambil mengingat-ingat Pak Komandan menjawab, “Namanya…namanya…Abid.”[1] Nama itu terdengar oleh telinga Ahmad seperti petir. Jadi, dialah orang yang menipu adiknya melalui telepon. Orang hina lagi rendah!

 

Sambil menenangkan Ahmad Pak Komandan berkata, “Jangan terlalu bersedih, bisa jadi seandainya kami terlambat sedikit niscaya adikmu hanya meninggalkan nama.”

 

Ahmad tidak tahu harus bicara apa. Tetapi dia masih bisa berterima kasih kepada Pak Komandan atas bantuannya. Ahmad memutuskan untuk pergi meninggalkan kantor polisi, dan ke rumah sakit untuk melihat adiknya. Di tengah jalan dia bertanya-tanya: Siapakah yang harus menanggung dosa daro kejahatan yang buruk ini? Apakah ayahnya yang menuntut mahar terlalu tinggi? Ataukah adiknya yang berkasak-kusuk lewat telepon? Atau keduanya?[2].

 

Hikmah : Wahai gadis muslimah! Mengapa engkau kehilangan kontrol diri, hanya karena mendengar bisikan hina dan pujian palsu dari pemuda yang melihat dirimu sebatas onggokan daging yang indah tanpa jiwa?

Wahai wanita Islam, sebuah fitnah besar telah dirancang demi mengubah dirimu, bermain-main dengan tubuh dan kehormatanmu. Berlindunglah kepada Tuhanmu! Karena tidak ada yang dapat menyelamatkanmu kecuali Allah Ta’ala.

Kisah nyata ini adalah fakta besar. Betapa gadis-gadis muslimah di negeri-negeri Islam yang memegang tradisi tidak keluar rumah kecuali untuk keperluan syar’i bisa terenggut kesuciannya oleh para pemuda yang hatinya keras, gelap dan busuk.

Jika demikian, betapa mudahnya merampas kesucian gadis-gadis muslimah yang dengan sukarela, bahkan sebagian dengan dukungan orang tua, keluar rumah bersama pemuda pujaannya untuk bermalam minggu, nonton, belanja ke mall dan lain-lain.

Ambillah pelajaran dari kisah-kisah memilukan ini. [Syahida.com]

 

Sumber: Khalid Abu Shalih (Waspadalah Putriku, Serigala Mengintaimu!)